Sabtu, 08 Januari 2011

PASIR...Energi Alternatif Masa Depan

ENERGI merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat karena hampir semua aktivitas manusia selalu membutuhkan energi. Misalnya untuk penerangan, proses industri atau untuk menggerakkan peralatan rumah tangga diperlukan energi listrik; untuk menggerakkan kendaraan baik roda dua maupun empat diperlukan bensin, serta masih banyak peralatan di sekitar kehidupan manusia yang memerlukan energi.
SEBAGIAN besar energi yang digunakan di Indonesia berasal dari energi fosil yang berbentuk minyak bumi dan gas bumi. Energi juga dapat diperoleh dari turbin yang digerakkan oleh air dan menghasilkan energi listrik.
Saat ini sudah banyak diketahui potensi alam dalam menyediakan energi alternatif pengganti energi dari fosil, antara lain energi dari reaktor nuklir, energi dari tenaga angin atau energi dari sinar matahari, dan lain sebagainya.
Mengapa saat ini perlu dipikirkan energi alternatif untuk masa depan? Persoalan ini dimulai dari persediaan energi dari fosil sangat terbatas dan diperkirakan akan habis dalam kurun beberapa tahun mendatang.
Dengan demikian, banyak negara, terutama yang tidak memiliki persediaan energi fosil dan sangat tergantung dengan negara-negara pengekspor minyak dan gas bumi, sudah mulai mempersiapkan diri untuk mencari energi alternatif serta melakukan program-program nasional untuk menghemat penggunaan energi.
Kedua kegiatan ini dilakukan secara paralel, keterlibatan pihak pemerintah sangat besar dalam pelaksanaan program tersebut, terutama dalam melakukan sosialisasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang energi.
Pada pertemuan tahunan para ahli silisium bulan Mei 2000 di Tromse, Norwegia, seperti yang diberitakan majalah Stren tanggal 9 November 2000, diperoleh ide untuk memanfaatkan pasir sebagai sumber energi alternatif masa depan yang diungkapkan oleh Prof Nobert Auner dari Universitas Frankfurt, Jerman.
Ide ini diperolehnya setelah dia mendengarkan presentasi Gudrun Tamme dari PT Wacker, Berghausen, Jerman, tentang “Silisium dan Tembaga Dioksida dalam Produksi Silikon merupakan Campuran yang Berbahaya?”.
Tema ini diangkat berdasarkan pengalaman PT Wacker pada tahun 1998 yang memproduksi silan (produk antara dalam proses produksi silikon).
Silo tempat penyimpanan silisium dan tembaga dioksida menunjukkan kenaikan temperatur yang sangat tinggi, dari suhu ruang menjadi 200 derajat Celsius dan bahan campuran dalam silo tersebut menjadi sangat keras.
Selanjutnya silo tersebut dikurangi isinya hingga separuh, dengan harapan suhu akan turun. Akan tetapi, suhu dalam silo masih tetap tinggi, bahkan suhu di tengah silo menunjukkan angka 400 derajat Celsius.
Para pekerja berupaya menurunkan suhu silo dengan cara menyiramkan air pada bagian luar silo, karena sangat berbahaya apabila air bereaksi dengan silisium maka akan terjadi reaksi panas yang luar biasa, bahkan bisa menimbulkan ledakan pada silo.
Usaha ini belum berhasil, kemudian ditempuh upaya dengan mengalirkan gas nitrogen dan selanjutnya gas argon untuk menurunkan suhu silo. Usaha yang ditempuh terakhir ini menunjukkan hasil positif, suhu silo kembali normal.
Pada saat dilakukan penyaluran gas argon ke dalam silo, diketahui adanya “lava” dalam bahan campuran di dalam silo tersebut.
Lava ini yang memberikan ide bagi Prof Nobert Auner untuk memanfaatkan pasir yang memiliki penyusun utamanya silisium dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif masa depan.
Kondisi tersebut merupakan ide dasar untuk menggunakan pasir sebagai bahan bakar. Berdasarkan kondisi yang terjadi di PT Wacker tersebut dan hasil penelitian di Universitas Frankfurt, maka ada beberapa kemungkinan dalam pemanfaatan pasir tersebut.
1. Pasir terdapat di banyak tempat, baik dalam bentuk batuan atau pasir seperti yang terdapat di gurun pasir. Pasir sebagian besar tersusun oleh silisiumdioksida, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku produksi silisium.
Dalam proses pengolahan silisiumdioksida menjadi silisium atau bahan metal yang berwarna abu-abu dapat digunakan energi yang ramah lingkungan dan disediakan oleh alam, yaitu energi angin atau tenaga dari sinar matahari.
Silisium merupakan bahan tidak beracun serta memiliki kandungan energi seperti karbon, yang merupakan inti energi fosil.
Energi dalam silisium tersimpan dengan aman karena adanya ikatan kimia, serta dapat dipindahkan ke tempat yang lain dengan aman. Sebagai bahan pembanding pada tabel I ditampilkan besarnya energi yang dihasilkan oleh beberapa sumber energi alternatif. Lihat Tabel 1.
2. Silisium murni merupakan bahan baku industri yang bernilai miliaran dollar, karena silisium merupakan bahan baku untuk memproduksi chip komputer dan silikon.
Dari silikon masih dapat diproduksi beberapa macam barang lanjutan seperti bahan pembuatan cat, payudara buatan, bahan kosmetik, contact-lens, keramik, dan ban mobil.
Saat dilakukan proses produksi silisium menjadi silikon diperoleh produk samping cair, Tetramethylsilan (TMS) yang memiliki energi bakar sebesar bensin dari minyak bumi. Apabila TMS ini dibakar, maka akan dihasilkan energi serta gas CO2 yang lebih sedikit dibandingkan bensin serta pasir bersih.
Dengan demikian, TMS ini bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif masa depan, walaupun perlu diperhatikan pasir yang dihasilkan selama proses pembakaran.
3. Reaktor silisium merupakan reaktor yang ramah lingkungan, karena dalam proses pembakaran untuk menghasilkan energi, reaktor ini menggunakan gas O2 dan N2 yang banyak tersedia di udara bebas.
Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran dapat digunakan untuk menjalankan turbin yang dapat menghasilkan energi listrik.
Selain dihasilkan energi panas, dalam proses pembakaran juga dihasilkan pasir dan silisium nitrit, yang dapat digunakan untuk memproduksi keramik atau gelas. Selain itu, silisium nitrit bisa digunakan sebagai bahan pelapis yang tahan goresan, kelembaban udara, api, dan asam.
Di samping itu juga dihasilkan gas yang mempunyai komposisi 80 persen gas N2, CO2, dan O2 yang mirip dengan komposisi gas di udara bebas sehingga tidak banyak menimbulkan masalah polusi.
Adapun dari silisium nitrit sendiri dapat dihasilkan gas NH3 atau amoniak, yang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar penggerak motor atau mobil di masa yang akan datang. Di samping itu amoniak juga bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk urea atau pupuk nitrogen.
Apabila hal ini bisa dilaksanakan, maka akan dapat dilakukan perbaikan proses untuk menghasilkan pupuk urea, yaitu dengan tidak digunakannya lagi proses klasik Haber-Bosch yang membutuhkan temperatur dan tekanan yang tinggi serta memerlukan biaya proses yang mahal.
Selain itu, gas CO2, yang dikeluarkan selama proses dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan methan, bahan bakar pengganti bensin. Pembakaran gas methan juga akan menghasilkan gas CO2 lagi, tetapi menurut Daniel Herbst dari Universitas Karlsruhe, Jerman, dapat pula dihasilkan cairan bahan bakar yang bebas CO2 melalui proses bioteknologi atau elektrolisa.
Pengetahuan awal tentang penggunaan pasir sebagai bahan bakar alternatif di masa mendatang masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Tetapi terobosan ilmiah ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak baik pemerintah, perusahaan, dan lembaga penelitian atau perguruan tinggi yang memberikan prioritas dalam pengembangan energi masa depan.
Di Indonesia yang selama ini dimanja dengan berbagai fasilitas kekayaan alamnya, masih sangat rendah perhatiannya terhadap penggunaan energi secara efektif.
Hal ini sangat perlu diubah untuk mengantisipasi era globalisasi yang semakin dekat, karena isu penggunaan energi atau manajemen energi maupun manajemen lingkungan hidup akan menjadi isu penting dari produk-produk perdagangan dunia.
Dengan diberlakukannya ISO 14000 tentang manajemen lingkungan serta ISO 14040 mengenai Life Cycle Assessment (LCA) semakin menyadarkan kita bahwa pengelolaan lingkungan hidup, kekayaan alam, serta manajemen energi pasti akan menjadi salah satu isu penting di dunia perdagangan internasional.
MENGUTIP Christ Lewis, Prof Wasrin Syafii mengatakan bahwa gas alam, minyak bumi, dan batu bara diperkirakan akan habis berturut-turut pada tahun 2047, 2080, dan 2180. Sumber daya energi nuklir bahkan diperkirakan akan sudah habis pada tahun 2017.
Oleh karena mengantisipasi segera akan habisnya sumber- sumber daya energi fosil dan nuklir itu, negara-negara maju giat melakukan litbang (penelitian dan pengembangan) untuk menemukan dan memanfaatkan sumber-sumber daya energi alternatif.
Pasir, seperti diceritakan Dr Wahyu Supartono, merupakan salah satu sumber energi alternatif. Biomassa yang dikedepankan Prof Wasrin Syafii juga merupakan sumber energi alternatif, dan bahkan lebih baik sebab sumber daya energi ini terbarukan.
Selama bertahun-tahun sejak masa Orde Baru sampai Orde Reformasi, pasir laut kita ditambang secara besar-besaran dengan kapal-kapal keruk. Penambangnya ada yang mengantongi izin resmi, ada juga secara liar mencuri pasir laut itu.
Pasir itu dijual ke Singapura dan dipakai negara jiran itu untuk mereklamasi pantainya sehingga negara pulau itu bertambah areanya. Jadi, pasir laut itu hanya dinilai sebagai tanah uruk (land-fill), dan karena dibeli secara borongan dengan partai besar, harganya sangat murah.
Entah sudah berapa ratus ribu ton pasir laut kita diobral ke Singapura. Laut di sana menjadi keruh sehingga ikannya menyingkir dan tak lagi dapat ditangkap oleh nelayan tradisional di Kepulauan Riau.
Dr Wahyu Supartono menerangkan bahwa pasir itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Konstituen utamanya, yakni silisium, juga dapat diolah menjadi silikon, salah satu bahan semikonduktor yang dipakai untuk memproduksi peranti-peranti elektronik (electronic devices).
MOSFET (metal-oxyde semiconductor field-effect transistor) sudah lama dikenal sebagai peranti yang dapat difungsikan sebagai gerbang elektronik. Puluhan bahkan ratusan ribu peranti semacam itu dapat dirangkun ke dalam satu cebis tunggal.
Istilah teknisnya VLSI (very large scale integration) atau perangkunan berskala amat besar. Walaupun sudah tertinggal sangat jauh, putra-putri bangsa kita juga melakukan penelitian di bidang ini.
Dr Tatty Menko di ITB, misalnya, sedang menggarap “cetakan” untuk merangkai peranti-peranti semikonduktor itu menjadi cebis renik (microchip) dengan perangkunan berskala besar (LSI/large scale integration).
Prof Mohamad Barmawi, juga dari ITB, meneliti kemungkinan penggunaan silikon nitrida yang dibuat dengan teknik pendadahan (doping) khusus untuk membuat diode pancar cahaya (LED/light-emitting diode) dengan efisiensi konversi ke cahaya yang tinggi, dan dengan spektrum yang mendekati cahaya alam di siang hari.
Potensi yang terkandung dalam pasir laut ini sama sekali tidak diperhitungkan sehingga juga tidak dikertaaji (not monetized). Singapura memang memakai pasir laut yang diimpor dari Indonesia sebagai tanah uruk. Tetapi pada ketepatan waktunya kelak, kalau perlu negara pulau kecil yang ipteknya berkembang dengan pesat itu dapat saja menambang pasir lagi dari pantainya, lalu mengekstraksi silikonnya.
Sumber energi nuklir
Selain mengandung silikon, konon pasir laut yang dijual murah ke Singapura itu juga mengandung torium. Dr Anggraito Pramudito APU, dari PPNY-BATAN mengatakan hal itu kepada saya.
Waktu itu kami sedang mengikuti suatu konferensi internasional. Anggraito menyesalkan pengobralan pasir laut itu, sambil memberi saya makalah yang telah ditulisnya, tentang penguat energi (energy amplifier). Barangkali karena penguat energi itu merupakan bagian dari teknologi nuklir untuk membangkitkan energi elektrik, maka ia lalu menyinggung kandungan torium dalam pasir laut Riau.
Torium (Th-232) ialah bahan-bakar subur (fertile) karena dapat membiakkan bahan-bakar terbelahkan (fissile). Torium ialah unsur nomor 90 dalam Tabel Periodik. Di dalam inti atomnya terdapat 90 proton.
Dalam uranium alam, kadar uranium 233 (U-233) teramat sangat rendah, tetapi U-233 yang terbelahkan ini dapat diperoleh dari Th-232. Dengan menangkap neutron, Th-232 menjadi terteral (excited) dan memancarkan sebagian energinya berupa sinar gamma.
Oleh karena setelah tangkapan menyinar (radiative capture) ini Th-233 yang terbentuk dari Th-232 plus neutron itu belum mantap juga, maka ia meluruh (decays) dua kali berturut-turut dengan melepaskan zarah beta (elektron).
Karena di dalam inti atom tidak ada elektron, maka zarah beta itu pastilah tercipta ketika neutron di dalam inti berubah menjadi proton. Karena emisi zarah beta itu dua kali, maka inti torium itu memperoleh tambahan dua proton.
Nomor atom (jumlah proton di dalam inti)-nya bertambah dua, menjadi 90 + 2 = 92. Unsur nomor 92 ialah uranium. Jadi telah diperoleh U-233, dan U-233 sama baiknya dengan U-235 atau Pu-239 (plutonium), baik sebagai bahan bakar yang dipakai dalam PLTN untuk mebangkitkan energi elektrik maupun untuk membuat senjata nuklir!
Jadi, Singapura berpotensi untuk memperoleh keuntungan lebih besar lagi dari impor pasir lautnya dari Indonesia. India telah maju dalam perencanaan pemanfaatan torium sebagai bahan bakar subur.
Ramalan Bill Clinton
Prof Wasrin Syafii menyebutkan tahun 2017 sebagai saat tamatnya riwayat energi nuklir, dengan catatan “kecuali kalau nuclear breeder atau nuclear fusion bisa dikembangkan.
Sebenarnya reaktor pembiak (breeder reactor) sudah ada. Perancis konon telah mengoperasikan LMFBR (liquid metal fast breeder reactor) atau reaktor pembiak cepat (berpendingin) logam cair.
Yang dibiakkan adalah Pu- 239 dan bahan subur yang dipakai untuk membiakkannya adalah U-238. Reaktornya disebut reaktor cepat sebab neutron yang mengimbaskan pembelahan inti adalah neutron cepat, dengan energi lebih dari 1 MeV (mega-elektron-volt). Logam cair yang dipakai sebagai zat pendingin ialah lelehan natrium.
Fusi nuklir secara terkendali masih terus dalam tahap penelitian dan pengembangan. Ketika masih menjadi Presiden, pada tahun 1998, Bill Clinton memprediksikan bahwa di tahun 2048 dunia akan melihat beroperasinya secara komersial PLT-fusi nuklir, bersamaan dengan terberantasnya secara tuntas AIDS (sindrom penurunan kekebalan tularan).
Kalau ramalan itu jitu, dunia dapat menghentikan pemakaian bahan bakar fosil yang masih tersisa sebab gas buangannya mencemari lingkungan dan dapat menyebabkan hujan asam dan pemanasan global.
Kimia dan nuklir hidrogen
Pada dasarnya, PLT-fusi nuklir memperoleh energi dari perpaduan 4 proton (= inti hidrogen) menjadi inti helium. Yang lebih prospektif untuk direalisasikan lebih dulu ialah fusi antara deuteron dan triton yang membentuk helium plus neutron.
Deuteron dan triton itu keduanya ialah inti isotop-isotop hidrogen. Jadi, dalam PLT-fusi nuklir sumber energinya ialah (inti) hidrogen.
Sementara menanti kehadiran energi nuklir hidrogen itu, barangkali kita akan memakai energi hidrogen juga, tetapi hanya energi kimianya. Litbang sel bahan-bakar (fuel cells) sekarang menunjukkan kemajuan besar.
Setelah energi kimia atom hidrogen dalam senyawa hidrokarbon disadap dalam sel bahan bakar, kemajuan berikutnya ialah penggunaan secara langsung H2 sebagai sumber energi kimia dalam sel bahan bakar.
Yang jangan dilupakan ialah energi nuklir hidrogen dari alam, dari reaksi termonuklir yang terjadi di Matahari. Sumber daya energi yang sangat besar dan ramah lingkungan ini juga harus ditangkap.
Bukan hanya dengan cara “berkebun” seperti disarankan Prof Wasrin Syafii, tetapi juga dengan teknologi tinggi. Efisiensi sel surya harus ditingkatkan. Perakitannya dalam skala besar juga harus terus digarap, seperti dalam litbang satelit daya surya (SPS/solar power satellite) di Jepang.
(Oleh Wahyu Suparton , Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta) dan
(Ditulis oleh L Wilardjo, Guru Besar Fisika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)
sumber www.chem-is-try.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar